Sunday, January 10, 2016

makalah bank dan lembaga keuangan lain nya


MAKALAH BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN BANK INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
anugerahNya sehinggakami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
baik.Bank merupakan salah satu lembagayang mempunyai kewenangan
untukmenyimpan dan memberikan dana kepada masyarakatsesuai dengan
peraturan yang telahditetapkan oleh bank sentral dalam hal ini Bank
Indonesia.Selain menghimpun danamasyarakat, bank juga mempunyai banyak
produk jasa lain yangmemberikan kemudahanbagi para nasabah untuk
memanfaatkan jasa perbankan.
Makalah ini merupakan hasil pengumpulan data mengenai “
Perlindungan nasabah BI , OJK, LPS, OMBUDSMAN”
sebagaimana yang akan menjadi acuan pembelajaran dalam bidang studi mata
Bank danLembaga Keuangan Lainnya.Dalam penyusunan makalah ini tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Daniselaku dosen
pembimbing mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya .Kami
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh darikesempurnaan.
Oleh karena itu, kamimengharapkan segala kritik dan saran yangmembangun
dari para pembaca demi kesempurnaanmakalah ini
Pendahuluan
Hukum itu memandu dan melayani masyarakat. Sebagaimana juga dinyatakan
dalamUndang -
Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) juga menyebutkan bahwa “Negara
Indonesia
adalah negara hukum”. Sekalipun pernyataan itu singkat tetapi maknanya sangat
luas, karena
mewajibkan negara dan semua warga negara, tanpa melihat kedudukannya,
tunduk padahukum.Hukum memang sangat diperlukan untuk mengatur setiap
segi kehidupan manusia.Termasuk juga dalam hubungan perekonomian, kesejahteraan,
keuangan, dan sebagainya,dalam hal ini bagaimana hukum mengatur hubungan
antara bank sebagai lembaga keuanganserta nasabah yang juga termasuk
konsumen perbankan tersebut, jadi apa yang menjadi tujuandari hukum itu
sendiri yaitu kesejahteraan bisa dicapai dengan baik, salah satunya melaluiupaya
pemberdayaan dan perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai
konsumenperbankan.Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuksimpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Lembaga perbankan sebagai salah satu
lembaga keuangan mempunyai peran strategisdalam menunjang kehidupan ekonomi
suatu negara. Kegiatan perbankan yang
menyediakan jasa pada sektor ekonomi memang tidak terlepas dari adanya risik
o yang dapat merugikanpihak bank sendiri maupun pihak nasabah baik nasabah
penyimpan dana maupun nasabahdebitur. Adanya risiko itu, maka membuat
bank harus benar - benar melaksanakan prinsip -prinsip yang seharusnya
diterapkan dalam praktek perbankan terkait dengan nasabah yaitu
menyangkut prinsip kepercayaan (Fiduciary Principle), prinsip kehati-hatian
(PrudentialPrinciple) dan juga prinsip kerahasiaan (Confidential Principle),
dalam hal ini nasabahmerupakan juga konsumen dari perbankan harus
dilindungi hak-haknya sebagaimana diaturdalam perundang-undang.Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
PerlindunganKonsumen (UUPK), sering terdapat klausula baku pada suatu
perjanjian kredit bank dengancara mencantumkan syarat sepihak dimana
klausula ini menyatakan bahwa bank sewaktu -waktu diperkenankan untuk
merubah (menaikan / menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit)yang diterima
oleh debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih
dahuluatau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap
segala keputusansepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku bunga
kredit, yang telah diterima olehdebitur pada masa / jangka waktu perjanjian
kredit berlangsung. Disinilah letaknyakedudukan nasabah debitur menjadi
lemah secara yuridis - ekonomis dan kurangmenguntungkan.
Makna Perlindungan Nasabah dalam Perlindungan Konsumen
Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat
sering terdengar, namun belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi
keduanya, jugaapakah kedua cabang hukum itu identik. Adapun hukum
konsumen diartikan sebagai
“keseluruhan asas – asas atau kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
antaraberbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa
konsumen, di dalampergaulan hidup.Teori perlindungan hukum berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
terdapat dalam Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945
yang menyebutkan bahwa “melindungi segenap bangsa dan seluruh tupah darah
Indonesia”.
Secara teoritik, aline ke empat pembukaan UUD 1945 telah menentukan suatu
teoriperlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia/warga negara
dibindang ekonomitermasuk perlindungan hak konsumen/nasabah
perbankan.Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Konsumen diartikan
sebagai pemakaihasil produksi (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya),
penerima pesan iklan, pemakai jasatermasuk jasa keuangan. Nasabah diartikan
sebagai orang yang biasa berhubungan denganatau menjadi pelanggan bank
(dalam hal keuangan), atau orang yang menjadi tanggunganasuransi, sedangkan
perlindungan merupakan suatu hal/perbuatan untuk melindundi, jadisecara
harafiah perlindungan nasabah merupakan suatu kegitan atau perbuatan
untukmelindungi orang yang menjadi pelanggan bank/yang berhubungan
dengan kegiatan transaksiperbankan.
Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana di bank, sangat
terkait dengan masalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
perbankan. Dan, lembaga perbankan adalah sangat tergantung pada
kepercayaan masyarakat. Tanpa kepercayaan dari masyarakat, bank tidak akan
mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sehingga tidaklah
berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan
dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan
masyarakat, terutama kepentingan nasabah.
Dengan demikian, perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan
terhadap kemungkinan terjadinya kerugian akibat merosotnya kepercayaan
masyarakat, sangat diperlukan. [1]
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas
suatu perjanjian. Untuk itu, tentu adalah sesuatu yang wajar apabila
kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum,
sebagaimana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank. Tidak
dapat disangkal bahwa memang telah ada political will dari pemerintah untuk
melindungi kepentingan nasabah bank, terutama nasabah penyimpan dana. Ini
dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Marulak Pardede[2] mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan
Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat
dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu :
a. Perlindungan secara implicit (Implicit deposit perotection), yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank
yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan
bank. Perlindungan ini yang dapat diperoleh melalui : (1) peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan, (2) perlindungan yang
dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang
dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan
usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan pelindungan
terhadap system perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat
kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehatihatian,
(6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko pada
bank.
b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu
perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin
simpanan masyrakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan,
lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang
disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh
melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat,
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun
1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.
Terkait dengan hal tersebut di atas, Zulkarnaen
Sitompul [3] mengemukakan bahwa kebijakan tentang status simpanan nasabah
yang ada di bank, dapat dilakukan dengan dua pilihan, yaitu : (1) pemerintah
secara tegas menyatakan tidak menjamin simpanan nasabah; (2) simpanan
nasabah tidak dijamin akan tetapi nasabah penyimpan diberi hak prioritas dalam
proses likuidasi bank; (3) cakupan jaminan yang tidak tegas; (4) jaminan
diberikan secara terselubung; (5) jaminan terbatas yang dinyatakan secara
eksplisit; dan (6) jaminan menyeluruh yang dinyatakan secara tegas.
PERLINDUNGAN TIDAK LANGSUNG
Perlindungan atau jaminan secara tidak langsung [4] oleh dunia
perbankan terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu
perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap
segala resiko kerugian yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh
bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat
internal oleh bank yang bersangkutan dengan melalui hal-hal yang
dikemukakan berikut ini.
Prinsip Kehati-hatian (Prudential principles)
Ketentuan kehati-hatian pada dasarnya merupakan system pengamanan
uumum atas system perbankan secara menyeluiruh melalui upaya peningkatan
pengamanan terhadap bank secara individual.[5]
Sebagai suatu system pengamanan umum, diakui bahwa ketentuan
kehati-hatian mengandung berbagai pembatasan terhadap bank secara
individual, terutama yang menonjol adalah (a) pembatasan terhadap
kepentingan individual dan (b) Pembatasan keleluasaan.
Karena adanya pembatasan-pembatasan tersebut, maka secara
individual menimbulkan suasana yang kurang nyaman. Apabila pengendalian
terhadap pembatasan kepentingan dan atau pembatasan keleluasaan kurang
dapat dikontrol, maka akan terwujud dalam bentuk kecenderungan untuk
menyimpang atau melangar ketentuan yang membatasi tersebut. Demikian pula
yang terjadi dengan ketentuan kehati-hatian di bidang perbankan. [6]
Pasal 2 UU No 10 Tahun 1998 menentukan bahwa Perbankan Indonesia
dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini, menunjukkan
bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asa terpenting yang wajib
diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu
berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti selalu harus
konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. [7]
Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegaskan kembali mengenai
pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha
bank, yakni dalam Pasal 29 ayat (2).
Pasal 29 ayat (2) mengemukakan bahwa:
Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manaemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank,
dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alsan
apapun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggiprinsip
kehati-hatian.
Ini mengandung arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat
dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) terkandung arti perlunya
diterapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada nasabah debitur. Selengkapnya
ketentuan tersebut mengemukakan bahwa:
Pasal 29 ayat (3):
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh caracara
yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan
dananya kepada bank.
Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) di atas tentu berhubungan erat
dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4), karena bertujuan untuk melindungi
kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun ketentuan tersebut
menyatakan bahwa:
Pasal 29 ayat (4):
Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Batas Maksimum Pemberian Kredit (“BMPK”)
Latar belakang ditetapkannya ketentuan BMPK adalah agar bank
melakukan penyebaran risiko dalam penanaman dananya sedemikian rupa agar
tidak terpusat pada peminjam, kelompok peminjam atau bank sector
tertentu. Konsentrasi pemberian kredit dapat mengakibatkan risiko yang sangat
besar bagi bank. Itulah sebabnya Undang-undang Perbankan mengatur secara
eksplisit ketentuan BMPK. [8]
Ketentuan BMPK merupakan salah satu ketentuan prudentian banking
yang sangat menentukan kinerja bank dan oleh karenanya pengaturan dan
ketaatan terhadap ketentuan BMPK harus menjadi proritas Otoritas Perbankan.
Sebagai salah satu ketentuan prudential banking, ketentuan BMPK
merupakan konsep yang dinamis dalam arti rumusannya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan operasional bank dan kepentingan ekonomi
nasional. Walaupun demikian perubahan konsep BMPK jangan sampai
dilakukan untuk melakukan kompromi dengan kondisi pelanggaran yang terjadi
maupun digunakan untuk tujuan non-prudential.[9]
Mengenai Batasan Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)/Legal Lending
Limit) telah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan
Peraturan Pelaksanaannya.
Pasal 11 ayat (1):
Bank Indonesia menetapkan mengenai batas maksimum pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,pemberian
jaminan,penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa,yang
dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam yang terkait,termasuk kepada
perusahaan-persahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang
bersangkutan.
Dalam bagian penjelasannya dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan
kelompok (grup) di atas merupakan kumpulan orang atau badan yang satu sama
lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan atau
hubungan keuangan.
Pasal 11 ayat (2):
Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh
melebihi 30% (tiga perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Menurut penjelasan Pasal 11 ayat (2) di atas, Bank Indonesia dapat
menetapkan batas yang maksimum yang lebih rendah dari 30% (tiga perseratus)
dari modal bank. Pengertian modal bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai
dengan pengertian yang digunakan dalam penilaian kesehatan bank. Batas
maksimum yang dimaksud adlah untuk masing-masing peminjam termasuk
perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama.
Pasal 11 ayat (3):
Bank Indonesia menetapkan mengenai batas maksimum pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,pemberian
jaminan,penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa,yang
dapat dilakukan oleh bank kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari
modal disetor bank.
b. anggota Dewan Komisaris.
c. anggota Direksi.
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c.
e. pejabat bank lainnya, dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingankepentingan
dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hurf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
Yang dimaksud dengan keluarga dalam ketentuan Pasal11 ayat (3)
butir adalah hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik
menurut garis keturunan lurus maupun ke samping termasuk mertua,
menantu, dan ipar.
Pasal 11 ayat (4 A):
Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh
melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bang Indonesia.
Dalam hal ini, Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum yang
lebih rendah dari 10% (sepuluh perseratus) dri modal bank. Pengertian modal
bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pengertian yang
dipergunakan dalam penilaian kesehatan bank.
Pasal 11 ayat (4A):
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1),
ayat(2), ayat(3), dan ayat(4).
Penjelasan ketentuan Pasal 11 ayat (4A) mengemukakan bahwa larangan
ini dimaksudkan agar dalam memberikan kredit atau pembiayaaan berdasarkan
Prinsip Syariah, bank menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat. Bang
dinyatakan melakukan pelanggaran atas ayat ini apabila pada saat
pemberiannya, saldo kredit atau pembiayaan tersebut melampaui batas
maksimum yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 11 ayat (5):
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Dalam bagian penjelasan ketentuan Pasal 11 tersebut dikemukakan,
bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh
bank mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya,
sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat, bahwa kredit
atau pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan
pada bank, resiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan
dana masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya
tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit
atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan
ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah
debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.
Berkaitan dengan itu, menurut SK Bank Indonesia No. 31/177/KEP/DIR,
yang dimaksud Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK/Legal Lending
Limit) adalah persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang
diperkenankan terhadap modal bank.
Mengenai batas maksimum pemberian kredit tersebut, oleh Bank
Indonesia telah ditetapkan bahwa untuk peminjam atau kelompok peminjam
yang merupakan pihak tidak terkait adalah sebesar 20% dari modal, sedangkan
untuk peminjam atau kelompok peminjam yang terkait adalah 10% dari modal.
Ditetapkannya ketentuan batas maksimum pemberian kredit, baik dalam
UU No. 10 Tahun 1998 maupun peraturan pelaksanaanya semata-mata
bertujuan untuk memelihara kesehatan bank dan meningkatkan daya tahan
bank melalui penebaran risiko dalam bentuk penanaman kredit kepada berbagai
nasabah peminjam. Lebih dari itu, adanya ketentuan batas maksimum
pemberian kredit tersebut untuk mencegah pemberian kredit kepada peminjam
atau kelompok peminjam tertentu saja.
Ketaatan bank dalam melaksanakan ketentuan batas maksimum
pemberian kredit juga merupakan wujud dari kehendak untuk memelihara
kesehatan bank dan wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat,
tertuama kepentingan nasabah penyimpan dana pada bank yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit sebagaimana
dikemukakan di atas mempunyai kaitan yang erat dengan upaya melindungi
kepentingan nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29
ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang
menentukan bahwa:
Pasal 29 ayat (3):
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh caracara
yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan
dananya kepada bank.
Ketentuan Pasal 29 ayat (3) di atas menentukan secara tegas, bahwa bank
dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit
haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah
timbulnya kerugian dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang ada di
bank. Mengingat, bahwa bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat
yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, tentu setiap bank perlu terus
menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba Rugi
Kewajiban dari bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba
rugi diatur dalam Pasal 35 UU No. 10 Tahun 1998. Pasal 35 ini menentukan
bahwa:
Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam
waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ketentuan tersebut berhubungan erat dengan kewajiban bank untuk
menyampaikan neraca dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya
kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur oleh Pasal 34 UU no. 10 Tahun
1998. Secara lengkap ketentuan Pasal 34 menentukan bahwa:
Pasal 34 ayat (1):
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan
perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya serta laporan berkala
lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 34 ayat (2):
Neraca serta perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
Pasal 34 ayat (3):
Tahun buku bank adalah tahun takwim.
Bahwa adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk menyampaikan
dan mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana diatur dalam
Pasal 34 dan 35 di atas, dapat memberikan informasi kepada masyarakat,
terutama nasabah penyimpan mengenai tingkat kesehatan bank dan hal-hal lain
yang terkait dengan bank tersebut.
Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank
Banyak alasan dan tujuan dilakukannya merger, akuisisi, dan
konsolidasi oleh pelaku usaha terhadap badan usaha bank yang dimilikinya.
Salah satu yang terpenting adalah untuk meningkatkan efisiensi dan
mempertinggi daya saing perusahaan. Namun demikian, dalam melakukan
merger, konsolidasi, dan akuisisi di bidang perbankan tidaklah dapat dilakukan
dengan sebebas-bebasnya, tetapi dibatasi oleh peraturan perundang-undangan
yang terkait.
Berkaitan dengan itu, menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1998 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi bahwa dalam
pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi harus memerhatikan kepentingan
dari semua pihak, yaitu kepentingan bank, kepentingan kreditor, kepentingan
pemegang saham minoritas dan karyawan bank, juga kepentingan rakyat
banyak, dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha bank.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa dalam rangka
pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi bank kepentingan dari nasabah
penyimpan sebagai kreditor telah memperoleh perlindungan hukum.
Berdasarkan Undang-perlindungan Konsumen
Dalam kegiatan perbankan, nasabah bank dapat dikatakan sebagai
konsumen. Menurut undang-undang No. 8/1999, konsumen didefinisikan
sebagai “setiap orang pemakai dan / atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat,..” Sementara kopnsumen sebagai nasabah bank dapat dibedakan
sebagai kreditur (dalam hal penyimpanan uang melalui tabungan atau deposito)
dan sebagai debitur (dalam hal nasabah melakukan pinjaman uang kepada bank)
Lembaga Penjamin Simpanan.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga
independent yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan
di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang
republic Indonesia Nomor 24 yang ditetapkan pada 22
November tahun 2004 tentang lembaga penjamin simpanan.
Dasar hukum dari berdirinya Lembaga Penjamin simpanan itu
sendiri adalah Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 yang disahkan
pada 22-November-2004 dan mulai di gunakan pada 22-september-
2005 yang terdapat pada halam pertama sampai terakhir.
Selain itu pendirian LPS juga berdasarkan dengan beberapa hal
yaitu mengenai pembelian kepercayaan nasabah terhadap perbankan
yang dulu pernah hilang karena krisi yang terjadi pada tahun 1998.
2. Fungsi, Wewenang, dan Tugas LPS
Lembaga Penjamin Simpanan juga memiliki fungsi, wewenang
dan juga tugas tersendiri yang bertujuan untuk kenyamanan nsabah.
Diantara funsi, wewenang dan tugas dari LPS sebagai mana
disebutkan dalam Undang-Undang adalah:[4]
Fungsi dari Lembaga Penjamin Simpaanan
· Menjamin simpanan para nasabah penyimpan
· Turut aktif dalam memelihara stabilitas system perbankan
sesuai kewenangan.
Sejak tangal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan
yang dijamin oleh LPS maksimum 100 juta per nasabah per
bank. Yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah
menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki
simpanan dari 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayar
dari hasil s likuidasi bank tersebut. Tujuan kebijakan public
penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan
nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per
31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari
100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan. Sejak
terjadi krisis global pada tahun 2008, pemerintah kemudian
mengeluarkan perpu No. 3 tahun 2008 tentang perubahan atas
Undang-Undang nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga
penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang
dijamin oleh LPS menjadi Rp. 2.000.000.000.,- (dua milyar
rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali apabila krisis
global meluas atau mereda.[5]
Sementara dalam menjalankan sifat-sifatnya Lembaga Penjamin
Simpanan memiliki tugas sebagai berikut :
· Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan
penjaminan simpanan.
· Melaksanakan penjaminan simpanan
· Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut
aktif memelihara stabilitas system keuangan.
· Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan penyelesaian
Bank gagal yang tidak berdampak sistematik. Melaksanakan
penanganan Bank gagal yang berdampak sistematik.
Lembaga Pejamin Simpanan juga dapat melakukan penyelesaian
dan penanganan Bank gagal dengan kewenagan:
· Menetapkan dan memungut prremi penjaminan.
· Menetapkan dan memungut konstribusi pada saat bank
pertama kali menjadi peserta.
· Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Lembaga
Penjamin Simpanan.
· Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank,
laporan keuangan bank, dan laporan hasil peemeriksaan bank
sepanjang tidak melanggar keberhasilan bank.
· Melakukan rekonsiliasi, verifikasi dan atau konfirmasi atas
data tersebut pada angka 4.
· Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran
klaim.
· Menunjuk, menguaskan, dan/atau menugaskan pihak lain
untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS
melaksanakan sebagian dari tugas tertentu.
· Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang
penjamin simpanan.
· Menjatuhkan sanksi administrative
3. Peran lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Penjaminan
Simpanan Nasabah Perbankan Syariah.
Pendirian lembaga Penjamin simpanan pada dasarnya dilakukan
sebagai upaya pendirian perlindungan terhadap dua resiko yang
berada didalam perbankan. Dalam menjalankan usaha bank
biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang
diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh
nasabah. Sebentara sebagian besar dari simpanan dialokasikan untuk
pemberian kredit. Keadaan ini enyebabkan perbankan tidak dapat
memenuhi permintaan dengan jumlah besar dengan segera atas
simpanan nasabanh yang dikelolanya bila terjadi penarikan tiba-tiba
oleh nasabah dalam jumlah yang sangat besar.[6]
Keterbatasn dalam penyediaan dana cash ini adalah karena bank
tidak dapat menarik segala pinjaman yang telqah disalurkan. Bila
bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan oleh
nasabahnya, nasabah akan menjadi panic dan akan menutup
rekeningnya yang ada pada bank tersebut sekalipun abnk tersebut
sebenarnya dalam keadaan sehat.
Sesuai ketentuan Pasal 3 PP Nomor 39/2005 dan pasal 23
peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2006 simpanan bank syariah yang
dijamin oleh LPS yaitu:[7]
· Giro berdasarkan prinsip wadiah (untuk BUS dan UUS)
· Tabungan berdasarkan prinsip wadiah
· Tabungan berdasarkan prinsip mudlarabah mutlaqoh atau
prinsip mudlarabah muqoyyad dan resikonya ditanggung oleh
bank.
· Deposito berdasarkan prinsip mudlarabah mutlaqoh atau
dengan prinsip mudlarabah muqoyyad yang resikonya
ditanggung oleh bank.
· Simpanan berdasarkan prinsip syariah lainya yang ditetapkan
oleh LPS setelah mendapatkan pertimbangan LPP (Bank
Indonesia)
Mengenai pembayaran klaim penjamin simpanan nasabah bank
yang dicabut izinnya, LPS memiliki hak untuk menggantikan posisi
nasabah penyimpan tersebut (hak subrograsi) dalam pembagian hasil
likuidasi bank. Pemberian kewenagan hak dan kewenangan tersebut
dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan (recovery
rate) bagi LPS, sehingga keberlangsungan program penjaminan
simpanan akan terus dijaga.
Sementara itu dalam penjaminan terhadap nasabah perbankan
syariah pihak Lembaga Penjamin Simpanan sebenarnya hampir sam
dengan bank konvensionsesuai akad awal yang dipakai oleh nasabah
pada saat awal melakual. Namun yang ada dalam perbankan syariah
adalah sesuai akad awal saat nasabah melakukan penyimpanan
terhadap uangnya
Edukasi dan Perlindungan merupakan salah satu fungsi yang dimiliki Otoritas
Jasa Keuangan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Berikut dasar regulasinya:
1. Pasal 4 Undang-undang Nomor 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan:
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor Jasa
Keuangan:
a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil; dan
c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
2. Pasal 28 Undang-undang Nomor 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan:
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan
tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik
sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila
kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
3. Pasal 29 Undang-undang Nomor 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan:
OJK melakukan pelayanan pengaduan konsumen yang meliputi:
a. menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen
yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;
b. membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
Lembaga Jasa Keuangan; dan
c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku
di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
4. Pasal 30 Undang-undang Nomor 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(1) Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan
pembelaan hukum, yang meliputi:
a. memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa
Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga
Jasa Keuangan dimaksud.
b. mengajukan gugatan:
1. untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari
pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan
pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan
pihak lain dengan itikad tidak baik; dan atau
2. untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian
pada konsumen dan atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
(2). Ganti kerugian seperti dimaksud ayat (1) huruf b angka 2 hanya digunakan
untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
5. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat diatur
dengan Peraturan OJK.
Salah satu faktor utama penyebab permasalahan perbankan saat ini adalah
kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank
sehingga kegiatan usaha bank tidak lagi dikelola secara sehat bahkan
dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi para pemilik, pengurus, atau pihak
lainnya (Hasibuan,2007:156). Pernyataan tersebut dapat tercermin dengan
adanya pelanggaran pelayanan dan pemasaran produk jasa bank meskipun tidak
dilakukan secara langsung oleh pihak bank seperti penipuan yang dilakukan
oleh seorang karyawan bank dengan modus penawaran produk perbankan
dengan return yang tinggi, kasus penipuan dengan kedok gadai emas pada
perbankan syariah, ataupun tawaran-tawaran menggiurkan lainnya yang sangat
menarik masyarakat calon nasabah bank tersebut. Padahal pelayanan jasa dan
etika pemasaran produk jasa bank harus dilakukan dengan baik dan benar
sehingga mendapat simpatik dan menarik bagi masyarakat calon nasabah bank
bersangkutan. Apabila pelayanan dan etika bank dilakukan dengan baik dan
benar, maka pemasaran produknya diharapkan akan berhasil baik dan tidak
merugikan salah satu pihak.
Undang-undang perlindungan konsumen digunakan sebagai bagian dari upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak yang sekaligus ditujukan
untuk mendapatkan kepastian atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari
perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen, untuk menjamin
peningkatan kesejahteraan rakyat serta kepastian mutu, jumlah, dan keamanan
barang dan atau jasa yang diperolehnya (Suryani,2008:332). Perlindungan
nasabah ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen merupakan
jamianan kepastian hukum terhadap nasabah untuk dilindungi dan mendapatkan
pelayanan secara benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang
diberikan (Meilany,2008). Pada kenyataanya undang-undang tersebut tidak
cukup untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga
keuangan, perbankan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan yang lebih
intensif sangat dibutuhkan.
Suatu peraturan dan pengawasan oleh pihak yang memiliki otoritas tertentu
menjadi salah satu upaya dalam pengantisipasian terjadinya pelanggaran atas
produk perbankan. Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak
lain dan dapat melakukan upaya tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2011, adalah lembaga yang didirikan untuk
menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar
modal dan lembaga keuangan dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam
pengaturan dan pengawasan bank serta untuk melindungi konsumen industry
jasa keuangan.
Visi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah menjadi lembaga pengawas industri
jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar
perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan
kesejahteraan umum. Sementara misi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah:
1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel
2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil;
3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
sektor jasa keuangan dan mempunyai tugas melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar
Modal, dan sektor IKNB. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan di sektor Perbankan OJK mempunyai wewenang untuk melakukan
pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,
merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank
2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
Sesuai dengan visi, misi, fungsi dan tugasnya, otoritas Jasa Keuangan (OJK)
memiliki wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
serta menekankan pada perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat,
khususnya konsumen produk jasa keuangan. Berdasarkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen,
perlindungan konsumen menerapkan 5 prinsip, yaitu: (1) transparansi, (2)
perlakuan yang adil, (3) keandalan, (4) kerahasiaan dan keamanan
data/informasi Konsumen dan (5) penanganan pengaduan serta penyelesaian
sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/Seojk.07/2014 Tentang
Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk Dan/Atau Layanan
Jasa Keuangan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib menyediakan
dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang
jujur berdasarkan informasi yang sebenarnya tentang manfaat, biaya, dan risiko
dari setiap produk dan/atau layanan serta wajib menyediakan dan/atau
menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang tidak
menyesatkan sehingga tidak menimbulkan perbedaan penafsiran antara
Konsumen dan/atau masyarakat dengan PUJK terhadap ketentuan yang dimuat
dalam perjanjian. Selain itu, OJK juga melarang PUJK menggunakan strategi
pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan
memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam
mengambil keputusan. Dengan demikian pelaku usaha jasa keuangan, termasuk
perbankan, diwajibkan untuk memberikan memberikan perlindungan konsumen
dalam hal ini adalah nasabah pengguna jasa keuangan bank atas kepercayaan
yang diberikan nasabah kepada bank.
Sebagai contoh konkrit dari bentuk pengawasan yang dilakukan oleh OJK
adalah dengan mewajibkan produk finansial untuk mencantumkan cap halal dan
OJK yang berlaku sejak 6 Agustus 2014. Tindakan tersebut dilakukan sebagai
bentuk perlindungan terhadap konsumen atas ketidakjelasan informasi terkait
produk finansial yang ditawarkan oleh perbankan. Sehingga kini dalam
penjualan produk finansial atau berpromosi disyaratkan untuk lebih jelas, jujur,
dan tidak menyesatkan konsumen. Sebagai gambaran, promosi dan layanan
kartu kredit kepada konsumen, selain harus memenuhi persyaratan peraturan
baru yang sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011, juga harus
menjelaskan cara menghitung bunga kepada calon nasabah. Selain itu, apabila
ada PUJK yang tidak mengindahkan peraturan yang ada, pihak OJK akan
memberikan teguran dan langkah terakhir merekomendasikan mencabut izin
operasionalnya.
Dengan adanya peraturan Otoritas Jasa Keuangan, surat edaran Otoritas Jasa
Keuangan, tindakan nyata perlu dilakukan di lapangan agar perlindungan
konsumen yang telah diatur di dalamnya tidak hanya sebatas peraturan tertulis
saja. Dari uraian di atas jelas sekali peran Otoritas Jasa Keuangan dalam
perlindungan produk perbankan. Sehingga diharapkan kinerja dari Otoritas Jasa
Keuangan ditingkatkan agar terwujud peningkatan kesejahteraan rakyat serta
kepastian mutu, jumlah, dan keamanan produk atau jasa keuangan.
masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari
setelah pemberitahuan putusan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan
BPSK yang bersifatfinal dan mengikat.Kejadian tersebut disebabkan karena
lemahnya kedudukan dan kewenangan yangdiberikan oleh Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/2001terhadap BPSK
terutama menyangkut putusan yang bersifat final dan mengikat namun
dapatdilakukan dua kali upaya hukum keberatan dan upaya hukum kasasi.
BPSK adalah sebagailembaga Negara independen atau lembaga negara
komplementer dengan tugas dan wewenangyang atributif untuk melakukan
penegakan hukum perlindungan konsumen. BPSK merupakanlembaga
penunjang dalam bidang quasi peradilan. Oleh karenanya, kekuatan BPSK
bersifat finaldan mengikat. Makna final yang dimaksud dalam putusan BPSK
adalah final pada tingkat BPSKsaja sedangkan pada tingkat pengadilan putusan
BPSK tidak bersifat final atau masih dapatdilakukan upaya hukum keberatan ke
pengadilan negeri dan kasasi ke mahkamah agung.Untuk mengatasi masalah
tersebut, Mahkamah Agung sudah menerbitkan PeraturanMahkamah Agung
No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
PutusanBPSK. Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini disebutkan bahwa pada
hakikatnya tidak dapatdibenarkan mengajukan keberatan terhadap putusan
BPSK kecuali yang memenuhi persyaratan.Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung
ini menegaskan bahwa yang bisa diajukan keberatan adalahterhadap putusan
arbitrase BPSK.
Kendala yang Dialami oleh BPSK dalam Praktik Pelaksanaan Penyelesaian
SengketaKonsumen
Kendala Yang Dihadapi Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
DalamMenyelesaikan Sengketa Konsumen yang pertama yaitu kendala
kelembagaan dapat ditinjau darikompleksnya peran yang diberikan untuk badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen sehinggamenimbulkan kendala pada tahap
pelaksanaannya, dalam hal ini dapat diuraikan mengenai peranyang diberikan
kepada Badan Penyelesaian sengketa konsumen yaitu : peran sebagai
penyedia jasa penyelesaian sengketa sebagai mediator, konsiliator, arbiter, pera
n sebagai konsultanmasyarakat atau public defender, peran
sebagai administrative regulatoratau sebagai pengawasdan pemberi
sanksi, peran ombudsman, ajudicatoratau pemutus. Berdasarkan pasal 52
Undagundang
Perlindungan Konsumen jo. SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 adalah: (a).melaksnakan penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasidan abitrase. (b).
Memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen (c)
melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku (d). Melaporkan ke
pada penyidik jika terjadi pelanggaran Undang-undang perlindungan konsumen.
(e). Menerima pengaduan tertulis maupuntidak tertulis dari konsumen terhadap
terjadinya pelanggaran perlindungan konsumen. (f).Melakukan penelitian dan
pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. (g).
Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlind
ungan konsumen. (h).Memanggil saksi-saksi atau saksi ahli atau setiap orang
yang diduga mengetahui pelanggaranmengenai perlindungan konsumen. (i).
Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkansaksi, saksi ahli, atau
setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia
memenuhi panggilan dari Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (j).
Mendapatkan, menelitidan/atau menilai surat dokumen atau bukti lain guna
penyelidikandan/atau pemeriksaan. (k).Memutuskan dan menetapkan ada
tidaknya kerugian di pihak konsumen. (l).
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ter
hadap perlindungan konsumen(m). Menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang perlindungan
konsumen.Kedua Kendala Pendanaan, salah satu faktor kurang optimalnya
Badan PenyelesaianSengketa Konsumen adalah karena kurangnya dukungan
dana baikdari Pemerintah Pusatmaupun dari Pemerintah Daerah, Pembagian
alokasi anggaran ini adalah untuk honoranggota/sekretariat badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dibebankan kepada AnggaranPendapatan Belanja Negara
(APBN) sedangkan biaya operasional dibebankan kepada AnggaranPendapatan
Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota masing-masing, hanya saja
mengenai besaran alokasi anggaran ini tidak diatur secara rinci. Selain itu meny
angkut kesiapan alokasidari APBD tidak maksimal dari Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, partisipasi daerahselama ini dalam alokasi dana untuk
efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen masihsangat minim hal ini
mempengaruhi kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.Ketiga kendala
Sumber Daya Manusia (SDM) Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor
pendukung terhadap optimalisasiBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
karena sebaik apapun suatu konsep pembentukan
badan/lembaga tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mempun
yai kompetensiyang baik pula maka suatu badan/lembaga itu pun akan jauh dari
keinginan atau cita-cita.Keempat rendahnya kesadaran hukum perlindungan
konsumen. Hal ini juga tidak kalah penting dalam cita-cita optimalisasi Badan
Penyelesaiaan sengketa konsumen, kesadaran hukummengenai hak- hak
konsumen yang belum diketahui oleh masyarakat luas sehingga hal

halyang berkaitan dengan masalah-masalah konsumen seringkali tidak dapat
diselesaikan sesuaidengan hak

hak yang ada pada konsumen yang diaturdalam Undang

Undang Nomor 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Upaya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menciptakan Konsumen
danPelaku Usaha yang Cerdas dan Sadar Akan Hak dan Kewajibannya
Ada kalanya masyarakat konsumen kurang atau belum mengetahui berbagai hal
dalamhal ini walaupun tugas yang berkaitan dengan pemberdayaan
perlindungan konsumen itu secarategas diatur pada tugas dan wewenang
lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakatnamun hal ini tidak
dapat mengesampingkan peran dari Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumendalam menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan
sadar akan hak dankewajibannya. Bahwa berdasarkan pasal 52 Undang-undang
Perlindungan Konsumen jo. SKMenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 huruf
(b), dimana salah satu tugas BPSK adalahmemberikan konsultasi mengenai
perlindungan konsumen, konsultasi ini dilakukan dalam upayamenciptakan
konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan
kewajibannya.Selain itu Sosialisasi dari BPSK sangat dibutuhkan dalam rangka
upaya meminimalisir permasalahan tentang perlindungan Konsumen dalam hal
masyarakat belum banyak mengetahuidan mengerti mengenai penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan kerugiankonsumen sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga dirasakan sangat perlu
untukmelakukan sosialisasi tentang Hukum Perlindungan
Konsumen. Namun saat ini BPSK belum fokus kepada penyelenggaraan sosialis
asi secara berkelanjutan sebagai upaya menciptakan konsumen dan pelaku usah
a yang cerdas dan sadarakan hak dan kewajibannya, saat ini Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen masih dalam tahap pembenahan internal
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan
dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan
lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan
kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di
hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

No comments:

Post a Comment